Cita-Citaku

by - 06:06

Saya bernama Anto. Saat ini saya duduk di tingkat SMA kelas 3, semester 1. Saya juga mempunyai seorang adik perempuan bernama Setia. Ia saat ini juga duduk di tingkat SMA kelas 1, di sekolah yang sama denganku. Hidup kami cukup sederhana, namun bahagia.
            Suatu hari yang cerah, aku bangun seperti biasa dan turun ke dapur. Di dapur bisa dilihat Ibu sedang sibuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
“Selamat pagi Bu…” aku mengatakan, masih belum sepenuhnya sadar. Ibu melihat kearahku dan memberiku senyuman yang mampu menerangkan hariku.
“Selamat pagi sayang… Sini duduk dulu, kita masih harus menunggu adik dan ayah.” Kata Ibu. Setelah menunggu cukup lama, perutku sudah mulai mengaung.
“Haduh lama sekali,” aku berpikir. Tak lama kemudian, Ayah dan adikku turun.
“Akhirnya!” aku berprotes, “Aku kira Ayah tidak akan turun sama sekali.” Ayahku tertawa.
“Iya, maaf Nak. Ayo, kita makan supaya Adik dan Kakak semangat di sekolah!” katanya. Seperti biasa, Ayah memimpin doa sebelum makan dan kami akhirnya makan sarapan yang telah disiapkan.
“Anak-anak, hari minggu ini ada acara atau tidak?” tanya Ayah.
“Tidak ada Yah, kenapa?” kata adikku.
“Ayah mau mengajak kalian jalan-jalan keluar, mau atau tidak?” jawab Ayah. Adikku langsung bersemangat.
“Mau Ayah! Aku mau banget!” Aku menertawakan adikku.
“Diajak keluar begitu aja sudah seperti ini, gimana ini?” aku bilang. Adikku cemberut.
“Ya kan minggu itu emang waktunya keluarga pergi jalan-jalan. Pantaslah aku senang,” katanya.
“Kakak ikut atau tidak?” tanya Ayah.
“Pastinya ikutlah!” aku bilang sambil tersenyum. Hal itu dikarenakan keluarga kami sudah lama sekali tidak pergi bareng. Seselesainya sarapan, aku dan adik pamit kepada orangtua dan berangkat menuju sekolah.
            Di sekolah, kami diberi tugas untuk mengarang sebuah puisi mengenai cita-cita kami. Saya langsung tahu ingin menulis tentang apa. Aku menulis tentang Ayahku karena ia baik, tanggung jawab, setia dan sayang sekali dengan keluarganya dan dialah cita-citaku. Aku tidak peduli dengan masalah ‘ingin menjadi apa’, karena aku lebih focus kepada ‘ingin jadi siapa’. Karena aku yakin dengan cita-citaku itu, aku mengeluarkan sebuah kertas dan mulai menuangkan ide-ide yang ada dalam kepalaku untuk menyusun sebuah puisi. Setelah waktu yang diberikan telah selesai, kami disuruh mempresentasikan hasil kerja kami di depan kelas. Tak terasa, waktunya terbang sangat cepat dan akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Sebelum aku meninggalkan kelas, aku ditegur oleh guruku.
“Anto, itu tadi puisinya sangat bagus! Menyentuh hati banget,” katanya. Aku merasa cukup bangga dengan diriku.
“Terima kasih Pak,” aku berkata.
“Saya akan sangat senang bila Anto bersedia membacakan puisimu pada saat pembagian rapor semester 1,” guruku menyatakan. Aku sangat kaget, namun senang. Bila aku menampilkan hasilku ini, Ayah pasti akan senang! Aku menyetujui permintaan guru dan mulai perjalanan pulang. Sepulang sekolah, tidak ada hal menarik yang terjadi, dalam arti semua berjalan seperti biasa, seperti hari-hari yang lain. Akhirnya jam menunjukkan pukul 10 malam, waktunya tidur. Aku izin tidur kepada orangtuaku dan jatuh dalam mimpi.
            Saat aku membuka mataku, ternyata masih pukul 2 pagi. Namun, keinginanku untuk ke kamar mandi lebih besar daripada kengantukanku.
“Ya, inilah tantangan manusia. Tidur atau ke kamar mandi? Haduhh…”
 Jadi, dengan sangat terpaksa, aku mengangkat badanku dan menuju ke kamar mandi. Setelah urusanku sudah selesai, aku melihat sosok wanita tertidur di sofa. Ternyata sosok itu adalah Ibu!
“Mengapa Ibu tidur di sofa?” aku berpikir. Aku menjadi bingung. Aku tidak mau membangunkan Ibu, namun aku juga tidak tega meninggalkannya seperti ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil selimut dari kamar Ibu untuk menyelimutinya dan menemaninya di situ. Ketika aku masuk ke kamar Ibu dan Ayah, ternyata Ayah tidak ada. Setelah aku menyelimuti Ibu, akupun tertidur di sampingnya. Ke esok harinya, saat aku bangun, ternyata Ibu sudah sibuk di dalam dapur. Akupun bertanya,
“Bu, tadi malam kenapa kok tidur di sofa? Ayah kemana?” Ibu senyum kepadaku.
“Ayah tadi malam kerja sampai malam… Tadi pagi juga berangkat setelah subuh.” Aku tidak terlalu percaya dengan kata-kata itu, karena ketika aku keluar kamar, sudah pukul 2 pagi, dan Ayah tidak ada. Namun aku hanya mengangguk kepala. Setelah itu, adikku turun dan kita sarapan.  Lalu setelah itu kita pun berangkat sekolah.
            Saat sudah waktunya pulang sekolah, Setia izin kepadaku untuk pergi ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Aku memperbolehkan dan ia pergi bersama teman-temannya dengan senang hati. Akupun keluar sekolah, dengan tujuan jalan kaki pulang. Namun, ternyata ada mobilnya Ayah menunggu di depan sekolah.
“Wah, kok tumben Ayah menjemput…” ku berpikir. Saat aku masuk mobil, Ayah tersenyum lebar untukku.
“Hallo jagoanku! Bagaimana sekolah? Loh, Setia mana?” ia bertanya.
“Baik-baik saja. Setia ke rumah temannya… Ayah kok tumben jemput aku?” akupun bertanya.
“Ya gak masalah. Kepingin aja…” katanya. Setelah itu kami berangkat ke rumah dengan tenang.
            Sesampainya di depan rumah, Ayah menyatakan,
“Ayah harus balik ke kantor ya… Urusannya ada banyak sekali.” Aku mengangguk kepala dan turun mobil. Akupun masuk rumah dengan perut yang sangat lapar. Namun, ketika aku masuk rumah, aku melihat Ibu di lantai kamar mandi, menangis. Ia sedang memegang tangannya yang bermemar, bewarna biru. Akupun lari kepadanya.
“Ibu! Ibu tidak apa-apa? Kok bisa begini?” aku bertanya. Ibu seolah baru sadar bahwa aku ada disitu. Ia langsung berdiri dan mengusap air matanya.
“Iya, gak apa-apa kok… Ibu hanya jatuh dan tangannya kebentuk saja kok,” katanya. Aku benar-benar tidak percaya.
“Ibu kalau ada masalah harus bilang aku loh ya,” ucapku dengan lembut. Ibu mengangguk kepala dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang, seolah tidak ada yang terjadi.
            Pada hari minggu, ketika makan pagi, Setia bertanya kepada Ayah,
“Ayah, hari ini jadinya mau kemana?” Ayahku bingung.
“Emang mau kemana?” ia bertanya. Setia kaget, namun menutupinya.
“Kan Ayah mau ajak kita jalan-jalan hari ini,” ia mengatakan.
“Oh iya… Gak bisa, Ayah ada kerjaan,” Ayah mengatakan dengan sangat ringan.
“Loh tapi kan Ayah sudah janji!” Setia membentak.
“Tapi Ayah ini nyari uang untuk kalian, ngerti gak sih?” kata Ayah, dengan muka yang sebal. Setia, yang tidak mau kalah, mengatakan,
“Berarti Ayah janji palsu! Kan Ayah sudah bilang kalau…”
“Ayah sekarang lagi sibuk!! Kalau gak bisa mengerti hal kecil seperti itu, benar-benar bodoh kau ini!” teriak Ayah. Iapun langsung berdiri dari meja makan dan keluar rumah, membanting pintu. Kami semua sangat kaget. Ayah tidak pernah memarahi kami separah itu. Setia menangis tanpa henti. Ibu memeluknya dan mengatakan,
“Ayah sedang sibuk, kita harus mengerti hal itu ya sayang… Tidak ada kebenaran yang diucapkan oleh Ayah. Ia hanya mengalami ‘stress’ di kantor sayang… Sudah jangan menangis lagi. Ibu saja yang ajak kalian keluar, gimana?” Setia berhenti menangis.
“Enggak deh… Sudah gak kepingin lagi,” katanya. Ia berdiri dengan lemas dan masuk kamarnya. Ibu menghadapiku dan mengatakan,
“Gak apa-apa ya Anto, kalau kita gak kemana-mana?” Aku mengangguk kepalaku, masih dalam keadaan kaget. Namun, setelah kejadian itu, tidak ada tindakan dari Ayah untuk meminta maaf dari Setia.
            Beberapa minggu kemudian, malam sebelum pertemuan orangtua semester 1, aku bertanya kepada Ibu,
“Ibu, besok Ayah juga akan datang kan ke acara orangtua itu? Aku ada sebuah kejutan loh!”
“Ya semoga bisa ya…” kata Ibu. Aku sangat senang. Akhirnya Ayah bisa mendengarkan puisi yang kubuat khusus untuknya. Keesok harinya, aku sangat gugup. Bagaimana kalau Ayah tidak suka? Namun aku tidak ada waktu untuk memikirnya lebih lanjut karena sudah didorong ke atas panggung. Aku mulai mencari Ayah, namun hanya melihat Ibu, melambangkan dua jempol ke arahku.
“Sepertinya Ayah tidak hadir…” ku berpikir dengan sedih. Aku memutuskan untuk menyampaikan puisi ini dengan membayangkan Ayah di depanku.
“Cita-citaku mungkin berbeda dengan yang lain,
Namun hal itu tidak membuatku khawatir.
Karena cita-cita ku ini pasti,
Dan bersumber dari hati.
Ayahku, pahlawanku,
Kau yang mencerahkan hidupku.
Air matamu, keringatmu,
Semua upayamu untuk membesarkanku.
Di sana ada banyak yang lebih baik,
Namun hanya satu sepertimu.
Aku tidak perlu mereka,
Hanya menginginkanmu.
Ayahku, pahlawanku,
Aku ingin jadi sepertimu.
Ayahku, pahlawanku,
Engkaulah cita-citaku.”
Tanpa kusadari, mataku berkaca-kaca, tetapi aku menahan air mata itu. Semua bertepuk tangan dan Ibu mengeluarkan tangisan yang kuanggap tangisan bahagia. Saat aku turun dari panggung, Setia menghampiriku.
“Wah, tadi kakak keren sekali! Bangga aku punya kakak sepertimu!” ucapnya. Setelah itu, kami menghampiri Ibu yang masih sedang menangis.
“Ibu gak apa-apa?” tanya Setia.
“Iya, Ibu gak apa-apa. Hanya bangga setengah mati dengan kalian berdua! Anak Ibu dua-duanya rangking 1 di kelas!” kata Ibu dengan bahagia. Kamipun turut bahagia. Lalu, setelah acara selesai, kami pulang.
            Saat liburan, Ayah jarang sekali di rumah. Karena itu, kamipun merasa seolah tidak mempunyai Ayah. Lama-kelamaan, ketidak-hadirannya merupakan hal yang biasa. Suatu malam, ketika cuaca hujan deras, Ayah menghadiri makan malam bersama. Meskipun kami makan malam seperti keluarga, ada sesuatu yang berbeda dengan Ayah. Lama-lama keadaan semakin buruk.
“Ayah dari mana saja?” tanya Setia.
“Kerja,” jawab Ayah dengan sangat singkat.
“Oh, kerja apa?” tanya Setia lagi. Ayah menggenggam tangannya.
“Ga perlu kamu urusin.”
“Emang kenapa? Kan aku mau tau,” Setia mengucapkan.
“Bukan urusanmu,” jawabnya tanpa peduli. Aku menendang Setia dari bawah meja, tetapi Ia tidak memperhatikanku.
“Kan aku cuman kepingin tau dimana Ayah berada. Kan aku kangen sama Ayah. Jangan-jangan Ayah bohong ke kita? Apa Ayah gak kangen sama…” Ayah membanting meja.
“Kamu tuh ya, dasar anak durhaka! Gak ngerti apa kalau orang sibuk? Kurang ajar sekali kamu, mikir kalau Ayahmu berbohong! AKU yang memberimu uang. AKU yang memberimu makan. Jadi anak itu harus berterimakasih, ngerti gak? Kalau kurang ajar gitu mendingan gak usah tinggal sini!” teriak Ayah. Setia langsung nangis dan lari keluar rumah, tanpa membawa payung. Akupun berdiri dan berkata,
“Ayah tidak mau mencari Setia?”
“Ngapain? Biar belajar tuch, nanti juga balik-balik sendiri,” katanya. Aku kaget. Betapa kejamnya Ayahku ini! Aku lari keluar membawa payung untuk mencari adikku tercinta. Setelah sejam mencari, akhirnya aku menemukannya di taman yang dekat dengan rumah. Aku sadar mengapa ia kesini. Taman inilah yang sering kita lewati masa kecil kami untuk bermain bersama Ayah. Setia sedang duduk di salah satu bangku, menangis dan kehujanan. Aku cepat-cepat lari kepadanya dan memayunginya. Setelah ia berhenti menangis, ia berkata,
“Ayah kenapa jadi seperti ini?” Sebenarnya aku juga tidak tahu alasannya. Ayah yang biasanya lembut dan baik telah berubah dengan sekejap menjadi seorang yang kasar dan kejam.
“Mungkin ia sedang mengalami hari yang buruk. Kita harus sabar aja ya, paling nanti kalau masalah kantornya sudah terselesaikan ia akan menjadi seperti dulu lagi,” aku berkata. Tetapi, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku masih sedikit tidak yakin dengan kata-kata itu. Namun, demi adikku, aku tersenyum lembut dan mengajaknya pulang. Ia setuju karena kedinginan dan kita berjalan menuju rumah.
            Sesampainya di rumah, aku sadar bahwa mobil Ayah tidak ada, menandakan bahwa Ayah telah keluar rumah. Ketika kita masuk rumah, Ibu langsung memeluk Setia.
“Haduh sayangku… Jangan pernah buat Ibu kaget seperti itu lagi!” katanya sambil mengelus kepalanya Setia. Ia menyuruh Setia untuk mandi dengan air panas lalu diantar ke kamarnya untuk tidur. Saat Ibu keluar dari kamarnya Setia, aku bertanya,
“Dimana Ayah?” Dengan muka yang sedih, Ibu menjawab,
“Mau ke rumah teman untuk meredakan emosi.” Saat aku memperhatikan wajah Ibuku, ternyata pipinya bewarna merah dengan cap tangan.
“Ibu, kenapa mukanya? Ini Ayah yang melakukan?” aku bertanya dengan khawatir.
“Bukan, bukan nak… Ini tadi Ibu karena sangat khawatir dengan Setia sampai mukul-mukul wajah sendiri supaya tidak ketiduran,” jawab Ibu dengan cepat. Saat itulah aku tahu bahwa Ibu berbohong.
“Kenapa Ibu berbohong? Kalau ada masalah Ibu harus bilang aku. Aku ini kan sudah 17 tahun!” aku mengatakan.
“Iya nak… Saat ini sedang masa-masa yang susah. Ini semua tantangan Tuhan kok. Tidak ada masalah yang besar seperti apa gitu…” ucapnya, “sudahlah, kamu gak perlu khawatir. Tidur aja sana, sudah larut malam.” Akhirnya aku memutuskan untuk pergi kamar dan berusaha untuk tidur.
            Sekitar pukul 2 atau 3, aku terbangun oleh suara pagar membuka.
“Pasti itu Ayah,” ku berpikir. Lalu aku keluar kamar diam-diam. Aku mengikuti suara langkah Ayah yang menuju dapur. Di situ, Ayah ketemu dengan Ibu.
“Mas, dari mana?” kata Ibu. Ayah mengambil sebotol air dari kulkas dan mengatakan,
“Kamu kan tahu.”
“Oh, kamu dari rumah wanita jalang itu?” kata Ibu. Ayah marah dan melemparkan botol air itu ke Ibu.
“Dasar kau! Jangan pernah menyebut wanitaku seorang jalang!” ucapnya.
“Tapi aku ini isterimu! Aku sudah toleran dengan sikap selingkuhmu ini demi anak-anak kami! Tetapi ini sudah terlalu. Mas itu mempunyai dua anak yang mencintaimu sampai ujung dunia! Bayangkan, ketika pertemuan orangtua, si Agus membuat sebuah puisi dengan susah payah hanya untukmu! Tetapi mas dimana? Main-main dengan wanita itu! Terus lihat yang kau lakukan terhadap anak perempuanmu. Ia sampai-sampai lari dari rumah! Untung saja tidak mati. Apa mas gak malu?” teriak Ibu. Ayah marah.
“Heh, kamu ya, berani-beraninya marah-marah sama aku! Ngerti gak sih kalau aku gak peduli sama kamu maupun anak-anak itu? Gak ada gunanya dekat-dekat sama mereka. Toh gak bisa berbuat apapun. Gak berguna sama sekali! Kamu juga, sudah bodoh, ngamukan, jelek, gak mau merawat diri pula! Pantes saja aku mencari yang lain!” kata Ayah. Aku kaget, sampai tidak bisa bergerak dari posisiku.
“Aku sudah memberimu dua anak yang sangat baik, pintar dan patut kepadamu. Apa itu masih saja kurang?” tangis Ibu.
“Kalau kamu lebih mendingan anak-anak itu, ambil aja! Aku hari ini juga mau minta cerai dari kamu,” ucap Ayah. Tangan Ibu langsung memegang dadanya, seolah baru ditusuk pisau.
“Jangan mas! Aku gak akan cerewet lagi kalau mas selingkuh! Aku akan diam saja, pokoknya jangan cerai denganku! Demi anak-anakku, aku rela kalau mas selingkuh dibelakangku. Aku gak masalah kalau kau menyakitiku, yang penting janganlah anak-anak sampai tidak mempunyai Ayah!” ucap Ibu.
“Wanita ini benar-benar mencintaiku. Dan keinginannya adalah untuk memilikiku tanpa harus balik ke kamu dan anak-anakmu itu. Ia tidak mau membagi cintaku. Ia menjanji untuk memberiku semuanya asal putus hubungan dengan kamu. Emang kamu apa dibandingkan dia? Kamu bisa apa yang berguna?” tantang Ayah.
“Aku tidak bisa apa pun. Namun, aku mohon. Demi anak-anak, setidaknya tunggu sampai Setia lulus SMA!” mohon Ibu. Tiba-tiba tangan Ayah menampar pipi Ibuku dengan sangat keras, sampai Ibupun terjatuh ke lantai.
“Ngeyel aja sih? Dibilangin aku mau cerai dan nikah dengan dia!” teriak Ayah. Saat ia mulai menggerakkan tangannya untuk memukul lagi, aku berlari kepada ibu dan menghentikannya.
“Sudah! Jangan dekat-dekat dengan Ibuku!” aku berkata.
“Beraninya ya kau, lawan Ayahmu sendiri!” katanya.
“Kau? Ayahku? Jangan buatku tertawa! Kau bukanlah Ayahku. Ayahku orangnya tidak akan menyakiti keluarganya sendiri. Kau? Hanya seorang yang tidak pantas diberi nama ‘suami’ ataupun ‘ayah’,” ucapku.
“Hahaha, aku juga gak peduli kok sama kamu! Sudah terbukti bahwa kau dan adikmu itu anak-anak durhaka! Semoga Tuhan dapat mengutusmu ke neraka, karena itulah tempat untuk anak-anak sepertimu! Pokoknya aku mau cerai, titik!” bentaknya.
“Ya sudah kalau begitu! Aku dan Setia juga gak bakalan peduli kalau kau bukan Ayah kami lagi! Yang penting Ibuku bebas dari sengsara. Lagian, siapa yang akan terlihat lebih buruk dimata Tuhan? Seorang anak yang melindungi Ibunya, atau seorang yang menyakiti keluarganya? Aku selalu berdoa agar kau panjang umur lalu masuk ke surga. Kali ini akan sedikit berbeda. Semoga kau masuk ke surga… SECEPATNYA!” teriakku. Ayah langsung bermuka merah dan pergi dari rumah. Akupun mengangkat Ibu dari lantai dan mengusap air matanya.
“Sudah Bu… sekarang Ibu bebas dari orang itu. Ibu tidak perlu khawatir untuk kita. Kita sudah terbiasa tanpa dia kok,” aku berkata. Ibu mengangguk kepala, air mata mulai berhenti. Ia memegang kepalaku dan memelukku, lalu berkata dengan suara serak,
“Terimakasih nak…”
            Keesok harinya, aku menjelaskan semuanya kepada Setia. Iapun sangat lega ketika aku mengatakan bahwa Ibu akan cerai dengan laki-laki yang dulu kita sebut ‘Ayah’. Sekitar jam 12 siang, ada surat yang datang. Ternyata surat itu merupakan surat cerai. Setelah diisi, Ibu pamit pergi sebentar untuk mengurus berbagai hal yang terkait dengan perceraian itu. Dan akhirnya, setelah semua urusan telah diselesaikan, Ibu terceraikan secara legal dari suaminya. Kami hidup dengan damai dan bahagia, hingga satu bulan sebelum kelulusan bagiku dan kenaikan kelas bagi Setia. Di saat itu, tanpa pemberitahuan sama sekali, ‘Ayah’ masuk ke dalam rumah. Ternyata ia memegang kunci cadangan dan memasuki rumah kami dengan isteri barunya yang sedang hamil. Kami semua terkejut.
“Mengapa ia disini?” pikirku. Ayah berdehem untuk menangkap perhatian kita semua.
“Karena rumah ini diatas nama saya, maka kalian harus segera keluar dari sini karena rumah ini akan dijual secepatnya,” katanya, tanpa rasa bersalah.
“Jadi kau mau mengusir kita?” tanya Ibuku.
“Ya kalau mau pakai kata-kata kasar, iya benar,” ucapnya, “ karena isteri saya ini sangat baik hati, kalian saya beri waktu 2 bulan untuk mempersiapkan diri untuk pergi dari rumah ini.”
“Gak perlu 2 bulan kok,” aku mencelah, “setelah aku lulus 1 bulan lagi, kau tidak akan pernah lihat wajah kami lagi. Akan kupastikan hal itu.” Ia membuang muka dan mengantarkan isteri barunya keluar dari rumah.
            Seperti yang kukatakan, setelah aku lulus, sebulan setelah kejadian itu, kami pergi dari rumah itu. Kami memutuskan untuk mencari hidup di kota Bandung. Di sana, Ibu mendaftarkan Setia di SMA yang baik dan menyuruhku untuk mendaftar di universitas yang cukup baik pula. Ia juga sibuk mencari nafkah untuk kita. Akupun juga bekerja sepulang kuliah agar Ibu tidak membebani segala tanggung jawab di punggungnya. Kami sangat sibuk, namun selalu ada waktu untuk bersenang-senang. Hidup kami yang baru ini penuh kegembiraan dan jarang sekali ada pertengkaran. Sekarang aku mengerti. Pahlawan dan idolaku bukanlah Ayah, melainkan Ibu. Ibuku yang selalu ada untukku. Ibuku yang selalu bersengsara demi aku. Dan sekarang, aku berharap dapat membalas kebaikannya sedikit demi sedikit. Aku tahu kalau semua perbuatanku tak akan bisa setara dengan apa yang telah dilakukannya, namun aku tidak akan putus asa, karena Ibu tidak pernah putus asa denganku. Ibuku, perempuan nomor 1 di hidupku, tak ada yang dapat mengalahkanmu. Karena kaulah cahayaku di hidup yang gelap ini. Kaulah yang dapat melindungiku dari segala kejahatan di dunia ini. Kaulah malaikat yang dikirim oleh Tuhan untukku. Terimakasih, Ibuku. Dulu, aku bercita-cita menjadi seperti Ayah. Namun, sekarang aku memiliki cita-cita yang jauh lebih penting. Cita-citaku adalah untuk membanggakan dan membahagiakanmu, Ibu.

 -Rahma Sekar Andini-

Cinta seorang Ibu
Hey guys! Di post ini, aku pakai Bahasa Indonesia <3 karena mau upload cerpen buatanku... Maaf panjang banget hehe XD.. cerpen ini bertema keluarga!
P.S MOHON JANGAN PLAGIAT.. JIKA KETAHUAN AKAN ADA SANKSI KARENA SUDAH DI COPYRIGHT!
Thx :3

You May Also Like

0 comments

©2017 R.S.Andini, All Rights Reserved